
PAMEKASAN HEBAT – Dalam menciptakan generasi emas 2045 bangsa Indonesia perlu melakukan langkah-langkah kongkrit dalam segala bidang, utamanya dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi dan seni (IPTEKS). Istilah literasi ramai diperbincangkan orang dalam kaitannya dengan banyak hal, seperti membaca, menulis, komputer, iptek, budaya, politik, teknologi, lingkungan, dll. Hal ini tak lepas dari makna literasi itu sendiri.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI Daring), literasi dapat dimaknai: 1) kemampuan menulis dan membaca; 2) pengetahuan atau keterampilan dalam bidang atau aktivitas tertentu; dan 3) penggunaan huruf untuk mempresentasikan bunyi atau kata. Untuk itu dengan literasi menjadikan tolak ukur keberhasilan suatu bangsa.
Dalam studi Programme for International Student Assessment (PISA) menyebut, budaya literasi masyarakat Indonesia pada 2012 terburuk kedua dari 65 negara yang diteliti di dunia (Republika.co.id; 2014). Lebih lanjut Gawati (2016) menyebutkan Kondisi minat baca bangsa Indonesia memang cukup memprihatinkan. Berdasarkan studi “Most Littered Nation In the World” yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca (Kompas.com).
Sejalan dengan itu data UNESCO menunjukkan tingkat membaca orang Indonesia hanyalah 0,001 (Republika, 2015), artinya dari 1.000 orang hanya ada 1 orang yang berminat membaca. (Kurniawati; 2016). [Baca Juga: Menguatkan Identitas Pamekasan Sebagai Kota Batik]
Ketua Forum Pengembangan Budaya Literasi Indonesia Satria Darma mengatakan, berdasarkan survei banyak lembaga internasional, budaya literasi masyarakat Indonesia kalah jauh dengan negara lain di dunia. Rendahnya kemampuan membaca dan menulis tak lepas dari budaya masyarakat. Data UNESCO menunjukkan tingkat membaca orang Indonesia hanyalah 0,001 (Republika, 2015), artinya dari 1.000 orang hanya ada 1 orang yang berminat membaca. Sebuah angka yang menunjukkan rendahnya minat baca orang Indonesia.
Dari permasalahan yang ada dapat diketahui bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kurangnya minat baca mayarakat Indonesia diantarnya adalah masih ada yang kurang mampu untuk membaca, kurangnya kesadaran dari masyarakat sekitar khususnya orangtua, guru, dan tokoh masyarakat tentang begitu pentingnya membaca, dan kurang di biasakannya membaca. [Baca Juga: Tenggelamnya Budaya Literasi di Era Milenial; Renungan Menuju Pamekasan Hebat]

Kabupaten Pamekasan sebagian bagian bangsa Indonesia punya peranan penting dalam proses menuju tahun 2045 sebagai tahun generasi emas. Selain itu, Pamekasan yang menobatkan diri sebagai Kabupaten Pendidikan pada tanggal 24 Desember 2010, sehingga perlu menggalakkan gerakan-gerakan menuju masyarakat literat seperti yang digalakkan belakangan ini. Kurniawati (2016) menggagas sekolah melek literasi melalui “Gelis Batuk” yaitu program peningkatan kemampuan literasi peserta didik melalui Gerakan Literasi Sekolah Baca Tulis Karya.
Selin itu pemerintah melalui Peraturan Menteri Pendidikan Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Dalam permendikbud tersebut, kegiatan membaca buku non pelajaran merupakan sebuah kegiatan yang perlu dilakukan minimal 15 menit setiap hari. Melalui kegiatan literasi diharapkan kemampuan membaca dan menulis siswa Indonesia meningkat. Kemampuan membaca dan menulis akan meningkat ketika kegiatan membaca dan menulis menjadi budaya dalam lingkungan sekolah. Lebih lanjut Arisma (2012) mengungkapkan bahwa dengan penerapan program jam baca mampu meningkatkan minat dan kemampuan membaca siswa SMP Negeri 01 Puri. [Baca Juga: Mendorong Penguatan Literasi Ala Baddrut Tamam]
Solusi yang pernah ditawarkan dan dilakukan untuk meningkatkan literasi membaca masyarakat Indonesia adalah adanya penerapan program jam baca sekolah, seminar di sekolah tentang pentingnya dan manfaat membaca. Hal itu kurang efektif. bagi masyarakat pedesaan yang masih kental keagamaannya, karena mereka masih kurang memperhatikan pentingnya membaca, kurangnya dukungan dari orang tua dan mereka kurang begitu memperhatikan nasehat dari guru sekolah, beda halnya akan kepatuhan mereka kalau disuruh oleh kiai.
Kabupaten Pamekasan yang juga dikenal dengan Kabupaten Gerbang Salam, masih memegang teguh tinggi tentang keagamaan, utamanya di daerah pedesaan. Pada masyarakat pedesaan yang masih kental keagamaannya biasanya kebiasaan rutinitas yang dilakukan setiap hari dalam belajar agama adalah mereka mengaji sorogan satu per satu kepada kiai atau berkelompok secara bergantian di kobhung (surau) kiai. Bagi santri yang sudah selesai mengaji, mereka mempunyai waktu kosong yang bisa digunakan untuk mengaji sendiri atau bersantai sambil menunggu semua temannya selesai sorogan pada kiai. [Baca Juga: Ketika Yang Muda Membangun Kepemimpinan Tak Berjarak]
Maka dari itu muncul sebuah gagasan berupa program perpustakaan kobhungan untuk meningkatkan literasi membaca khususnya bagi santri pedesaan. Caranya adalah dengan melakukan kerjasama dengan para kiai dan tokoh masyarakat pedesaan untuk merealisasikan gagasan tersebut. Pertama, meletakkan dan menitipkan beberapa buku bacaan di beberapa kobhung yang sudah ada, sehingga santri yang mempunyai waktu kosong setelah sorogan bisa digunakan untuk membaca buku untuk menambah wawasan mereka.
Selain itu perlu adanya motivasi dari kiai kepada santri agar mereka bersemangat dan membiasakan diri untuk membaca. Untuk itu perlu juga dilakukan bimbingan membaca bagi santri yang belum bisa membaca. Bahkan penting untuk meminta kepada kiai agar memberikan waktu khusus dan mewajibkan kepada para santri untuk membaca yaitu pada saat setelah sholat isyak sebelum pulang agar mereka terbiasa akan hal seperti itu.
Selanjutannya, kalau hal itu sudah berjalan maka dilanjutkan dengan kerjasama dengan aparatur desa untuk membangun kobhung yang dijadikan sebagai perpustakaan masyarakat desa agar mereka lebih senang dan punya tempat khusus untuk membaca.
Dalam hal pengadaan buku bacaan yang akan diletakkan di perpustakaan kobhungan yaitu dengan mendirikan posko peduli membaca di berbagai titik seperti, kampus, alun-alun dan tempat ibadah bagi buku yang sudah tidak dipakai, selain itu akan dilakukan keja sama dengan seluruh perpustakaan sekitar, dan bekerja sama dengan kepala desa untuk memberikan alokasi dana pengadaan buku pada perpustakaan kobhungan. (PAMEKASAN HEBAT)
* Penulis adalah dosen dan peneliti Universitas Islam Madura (UIM) Pamekasan