PAMEKASAN HEBAT – Sebagai media yang berbasis komunitas dengan kepentingan dan komitmen yang sama bagi semua anggota yang tergabung dalam komunitas tersebut, maka peran dan posisi KIM sebenarnya memang jauh lebih efektif. Disamping kedekatan, kesamaan komitmen dan konten yang lebih terinci, kelebihan media yang dikelola KIM juga, karena bisa searah atau sesuai dengan keinginan yang hendak disampaikan para pengelolanya.
Extra media level dalam konteks media yang dikelola KIM, tentu bukan pada pengiklan, sehingga KIM harus mengikuti kemauan pihak pengiklan, akan tetapi pihak pengiklan yang hendak bekerja sama dengan KIM, harus mengikuti irama dan idiologi kehendak pada pengelola pengurus KIM. Peran superior inilah yang menjadi kekuatan tersendiri di media yang dikelola KIM, yakni mengkonstruk calon pemanfaatkan media yang dikelola KIM, sesuai dengan kesepakatan para pengurus atau kelompok pengelola KIM.
Dengan kata lain, “anda boleh memasarkan produk dengan memanfaatkan jasa publikasi di media yang kami kelola, tapi ada harus mengikuti ketentuan dan pola yang kami tawarkan, karena ini adalah media komunitas dimana masing-masing orang yang tergabung di organisasi ini sudah memiliki visi, misi dan persepsi yang sama tentang isi dan bentuk informasi media yang harus kami sajikan kepada khalayak“.
Potensi inilah yang mampu ditangkap oleh Kepala Diskominfo Pemkab Pamekasan Ir Mohammad, sehingga ia berkeyakinan media yang dikelola KIM bisa memiliki nilai tawar yang luar biasa, apabila bisa dimanfaatkan secara maksimal untuk sebesar-besarnya menyajikan informasi yang menyangkut kepentingan publik, menjadi jembatan antarkelompok kepentingan, baik antara masyarakat dengan pemerintah, ataupun antara pemerintah dengan masyarakat.
Apabila bisa digerakkan secara massif, dalam artian masing-masing desa bisa memiliki minimal satu KIM, maka bisa dipastikan, tidak akan terjadi kebocoran informasi dalam hal penyajian dan pendistribusian informasi di masyarakat, baik yang bersifat top down, yakni dari pemerintah kepada masarakat, ataupun informasi yang bersifat button up, yakni dari warga kepada pemerintah.
Sejauh ini, fokus perhatian penyebaran informasi yang disampaikan pemerintah kepada masyarakat atau khalayak cenderung serampangan, tanpa memperhatikan efektivitas dan ketepatan sasaran penerima informasi. Media massa seperti koran dianggap merepresentasikan kepentingan publik yang banyak dibaca oleh semua kalangan. Padahal di era kini, warga yang membaca koran sudah sangat sedikit dan hanya terbatas di kantor-kantor pemerintah saja, dan sebagian kecil kantor swasta.
Sebagian besar akademisi di sejumlah perguruan tinggi di kabupaten ini, sudah banyak yang berhenti berlangganan koran dan lebih memiliki membaca informasi gratisan melalui internet. Pertimbangannya sederhanya, karena dengan paket seharga Rp100 ribu saja, mereka sudah bisa mengakses beragam informasi dari beragam media massa online yang berbeda, sehingga tingkat keberagaman informasi yang bisa diakses jauh lebih beragam disamping hanya membaca satu koran tertentu untuk mengakses informasi.
Berdasarkan data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah pembaca media cetak, terus cenderung semakin menurun, bahkan prosentasenya semakin kecil. Untuk Jawa Timur, hanya 19,68 persen dari total jumlah penduduk yang ada di wilayah tersebut, dan ini merupakan data yang dirilis tahun 2018.
Pembaca Media Cetak Yang Terus Berkurang
Data tentang persentase menurunnya pembaca media cetak ini, seiring dengan hasil penelitian Nielsen Indonesia yang menyatakann bahwa di Indonesia, saat ini pembaca media digital sudah lebih banyak ketimbang media cetak. Sementara, jumlah pembeli koran terus merosot dalam empat tahun terakhir karena masyarakat beranggapan bahwa informasi seharusnya bisa didapat secara gratis.
Survei Nielsen Consumer & Media View hingga triwulan ketiga 2017 menyatakan, kebiasaan membaca orang Indonesia telah mengalami pergeseran. Pada 2017, tingkat pembelian koran secara personal hanya sebesar 20 persen, menurun dibandingkan 2013 yang mencapai 28 persen. Masyarakat cenderung membaca koran di kantor, sekolah, dan perpustakaan, sehingga tak perlu mengeluarkan biaya. “Orang-orang teredukasi bahwa media itu gratis,” kata Direktur Eksekutif Nielsen Media Indonesia Hellen Katherina di Mayapada Tower, saat menyampaikan keterangan pers di Jakarta, Rabu (6/12/2017) lalu.
Anggapan bahwa media harus gratis mengerek tingkat penetrasi media digital hingga 11 persen dengan jumlah pembaca 6 juta orang pada tahun 2017 kala itu. Jauh lebih banyak dibanding pembaca media cetak sebanyak 4,5 juta orang. Padahal, jumlah pembaca media cetak pada 2013 bisa mencapai 9,5 juta orang. Sementara, jumlah pembaca media cetak sekaligus digital hanya 1,1 juta orang.
Selain itu, media cetak hanya menjadi pilihan kelima masyarakat untuk mendapatkan informasi dengan penetrasi sebesar 8 persen. Sementara, urutan pertama ditempati televisi dengan 96 persen, kemudian diikuti papan iklan di jalanan 52 persen, penggunaan internet sebesar 43 persen, dan radio sebanyak 37 persen.
Untuk penetrasi media cetak, masyarakat memilih koran dengan dengan porsi 83 persen, tabloid 17 persen, dan majalah 15 persen. Survei Nielsen dilakukan di 11 kota dengan mewawancarai 17 ribu responden dan mencapai populasi sebanyak 54 juta orang. Masyarakat yang membaca media cetak pun didominasi oleh orang-orang berusia 20-49 tahun dengan porsi sebanyak 73 persen. Hanya 10 persen anak muda berusia 10-19 tahun yang mengakses media cetak sebagai sumber informasinya.
Sebaliknya, sebanyak 17 persen anak muda berusia 10-19 memperoleh informasi lewat internet. Untuk pembaca berusia 20-49 tahun jumlahnya sebesar 80 persen. Artinya, media harus mulai mempertimbangkan digitalisasi untuk menarik generasi z (10-19 tahun). “Mereka adalah konsumen penting di masa depan,” kata Helen kala itu. Apalagi, Nielsen juga menemukkan bahwa 36 persen pembaca media cetak adalah pemimpin perusahaan atau birokrat mapan. Dengan jumlah pengeluaran yang lebih tinggi daripada masyarakat biasa, mereka punya tendensi untuk beralih ke media digital.
“Pembaca media cetak adalah orang-orang yang sudah biasa dengan internet,” kata Hellen lagi. Tak hanya jumlah pembaca, pengeluaran iklan untuk media cetak pun berkurang. Pada Januari-September 2017 hasil survei perusahaan ini menyebutkan, bahwa jumlah belanja iklan media cetak Rp21,8 triliun, berkurang 13 persen dibanding periode yang sama pada 2013 yakni Rp25 triliun.
Selain itu, produsen media cetak juga berkurang sebesar 23 persen. Nielsen mencatat ada 268 media cetak pada 2013, namun merosot tajam menjadi hanya 192 media pada 2017. Namun, angka itu dipengaruhi oleh penurunan jumlah produsen tabloid dan majalah yang berkurang sebanyak 92 unit, hanya 2 produk koran yang menyatakan gulung tikar. Lalu apakah ini berarti media cetak telah benar-benar memasuki senja kala di Indonesia? Nielsen menemukan media cetak masih lebih populer dibandingkan media digital di luar Pulau Jawa. Masyarakat di Medan, Makassar, Palembang masih memilih cetak ketimbang digital, karena akses internet disana memang belum merata. (Bersambung ke-7)