
PAMEKASAN HEBAT – Media memiliki peran penting dalam membentuk pola pikir masyarakat yang positif dan konstruktif, bahkan media diyakini mampu membentuk persepsi publik berdasarkan informasi yang disiarkan dan dikonsumsi publik. Begitu pentingnya peran media, sehingga dalam sistem demokrasi, media termasuk satu dari empat pilar penyangga, selain eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Media merupakan sarana komunikasi yang berada di antara dua pihak sebagai perantara atau penghubung, yakni sebagai komunikasi massa yang berperan sebagai komunikator serta agen of change, dan menjadi pelopor perubahan dalam lingkungan publik, serta dapat mempengaruhi khalayak melalui pesan berupa informasi, hiburan, pendidikan maupun pesan-pesan lainnya dan dapat dijangkau masyarakat secara luas.
Peran penting media inilah yang menurut pakar komunikasi Mc Luhan dan Quentin Fiore, bahwa masyarakat dan media selalu berkaitan, dan media menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat. Sadar atau tidak sadar bahwa media memiliki pengaruh yang berdampak positif maupun negatif dalam pola dan tingkah laku masyarakat. Kendatipun media di setiap zamannya menjadi esensi dari masyarakat itu sendiri.
Maka wajar apabila “pengaruh dan efek” media massa selalu mengkajian kajian menarik dalam dunia akademik, karena faktanya pilar keempat demokrasi ini, memang memiliki peran signifikan dalam membentuk pola pikir dan pola sikap masyarakat dalam berbangsa dan bernegara. Setidaknya ada empat teory pers yang berlaku selama ini, masing-masing teori pers otoriter (authoritarian theory), teori pers bebas (libertarian theory), teori pers komunis (Marxis), dan teori pers tanggung jawab sosial (social responsibility).
Dalam sistem pers otoriter, pers mempunyai tugas untuk mendukung dan membantu politik pemerintah yang berkuasa untuk mengabdi kepada negara. Pers tidak boleh mengkritik alat-alat negara dan penguasa dan tidak memiliki hak penuh dalam mengaspirasikan pendapatnya, atau tidak bisa memberikan opininya melalui pers. Pada Pers Liberal pers dipandang sebagai alat untuk melakukan pengawasan terhdap kinerja yang dilakukan oleh pemerintah. Liberal dikenal dengan kebebasannya, namun sebebas bebasnya pers dalam negara yang menganut demokrasi liberal, pers tidak leluasa untuk “menfitnah”, menyiarkan tulisan cabul ataupun untuk menghasut. Pers liberal beranggapan bahwa pers itu harus mempunyai kebebasan yang seluas-luasnya, dan hal itu bertujuan untuk membantu manusia dalam mencari kebenaran. Kebebasan pers dengan demikian dapat menjadi ukuran atas kebebasan yang dimiliki oleh manusia. Pada teori per komunis atau marxis, pers dianggap sebagai akibat dari sistem komunis uni soviet. Media massa pada pers teori ini berperan sebagai alat pemerintah (partai) dan bagian integral dari negara, dan media massa mau tidak mau harus tunduk kepada pemerintah. Teori ini disebut juga dengan pers “totaliter soviet” atau teori pers komunis soviet. Sementara pada Teori pers tanggung jawab sosial (Social Responsibility) pers dianggap forum yang dijadikan sebagai tempat untuk memusyawarahkan berbagai masalah dalam rangka tanggung jawab terhadap masyarakat/orang banyak (sosial), dan sebagai antitesis dari teori pers liberal yang memberikan kebebasan yang sebesar-besarnya, sehingga terjadi kemerosotan moral pada masyarakat.
Terlepas dari perbedaan peran tentang pers berdasarkan sistem yang terbangun sebagaimana teori di atas, pers yang coba dibangun dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah sebagaimana tertuang dalam UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Undang-undang ini menekankan, bahwa pers tidak hanya sekadar perusahaan penyedia informasi kepada khalayak, akan tetapi harus memiliki tanggung jawab sosial sebagai sebuah lembaga.
Karena itu, kebebasan yang ditekankan dalam ketentuan itu, adalah kebebasan berdautan dan bertanggung jawab yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum dan berfungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial. Menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah, menjadi keharusan bagi sistem pers di Indonesia sebagaimana tertuang pada Pasal 5 UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Dasar untuk menghormati norma agama, kesusilaan dan asas praduga tidak bersalah inilah yang menurut Bupati Pamekasan Baddrut Tamam yang perlu diperhatikan semua insan pers, sehingga informasi yang disajikan kepada publik melalui medianya masing-masing, benar-benar berita yang bertanggung jawab, mendidik dan mencerahkan.
Fenomena Informasi Kini

Saat menjadi narasumber di acara talkshow dalam rangka Hari Ulang Tahun (HUT) ke-31 Radio Karimata FM pada 12 Oktober 2020, Baddrut menyatakan, bahwa yang menjadi fenomena media saat ini, terutama media sosial (bukan media massa) adalah berita bohong, tidak bertanggung jawab, dan tidak faktual, dalam artian berita yang disajikan kepada khalayak oleh sebagian media, cederung tidak sesuai dengan fakta, atau parsial.
Akibatnya, informasi yang tersaji tercederung bias, tak sesuai dengan fakta yang sebenarnya, bahwa berpotensi menimbulkan persepsi keliru. “Harapan saya, Radio Karimata ini agar bisa menjadi media yang mampu menangkal berita hoax, menjadi media yang edukatif, sehingga mampu melahirkan generasi yang edukatif pula,” katanya.
Saat ini, kata dia, Indonesia sedang mengalami sebuah dinamika baru yang ia sebut sebagai “dinamika hoax“. Jika media massa seperti Radio Karimata FM juga terseret pada arus dinamika baru yang cenderung negatif tersebut, maka pers sebagai pilar penyanggah keempat demokrasi juga akan luntur. Maka, menjadi media yang menghindari berita hoax dan bisa mengedukasi masyarakat adalah sesuatu yang niscaya yang harus dilakukan, sehingga peran media sebagai kontrol sosial, akan berperan efektif dan dapat dipercaya.
Pada talkshow itu, Bupati Baddrut Tamam mencoba memaparkan pola pikir positivisme, yakni menarik konsepsi ideal yang tertuang dalam ketentuan baku, yakni Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan misi media massa di Indonesia yang beroriensi pada tanggung sosial berdasarkan norma sosial dan agama ke ranah praktis.
Pola pikir positivism yang dilontarkan bupati muda saat talkshow di Radio Karimata FM ini tentu sangat beralasan, mengingat nuansa pesan media yang berkembang yang banyak dikonsumsi publik adalah pesan yang tak bertanggung jawab, bahkan cenderung memojokkan dan menghina kelompok yang berbeda pemikiran. Kasus penghinaan oleh pemilik akun media sosial facebook yang bernama Suteki dan Mohammad Izzul yang kini diproses hukum di Mapolres Pamekasan merupakan salah satu contoh nyata akan dinamina pesan media yang cenderung menghujat tanpa dasar yang terjadi akhir-akhir ini.
Orientasi pers yang bertanggung jawab, komitmen kepada kebaikan dan kebenaran, dan sesuai dengan nilai moral dan landasan ideologis bangsa, yakni Pancasila, menurut Baddrut Tamam, adalah sesuai dengan sembilan elemen jurnalisme sebagaimana pendapat tokoh pers Bill Kovach, yakni 1). kewajiban jurnalisme pertama adalah (berpihak) pada kebenaran 2), loyalitas (kesetiaan) pertamanya kepada warga (publik), 3), esensi jurnalisme adalah disiplin verifikasi, 4), harus menjaga independensi dari objek liputannya, 5), jurnalis harus membuat dirinya sebagai pemantau independen kekuasaan, 6), jurnalis harus memberi forum bagi publik untuk saling-kritik dan menemukan kompromi, 7), jurnalis harus berusaha membuat hal penting menjadi menarik dan relevan, 8), jurnalis harus membuat berita yang komprehensif dan proporsional, dan 9), jurnalis harus diperbolehkan mendengarkan hati nurani personalnya.
Jurnalis, dalam pandangan Baddrut Tamam, sejatinya memiliki tugas suci dan mulia, yakni sebagai penyampai “risalah” (orangnya disebut rasul), yakni menyampaikan informasi dari narasumbah ilahiyah (Tuhan) kepada khalayak (publik). Maka sebagai penyampai risalah yang harus menjadi pegangan pokok adalah empat hal, shiddiq, amanah, tabliq dan fatonah. “Jadi sebagai penyampaikan risalah atau penyampaikan informasi, ada misi kerasulan dalam diri jurnalis itu,” katanya.
Sejatinya, Baddrut menyatakan, bahwa dirinya tidak antikritik. Bahkan, untuk menjadi sesuatu yang kuat, maka harus bersedia dikritik agar menjadi lebih baik lagi. Sebab, jika menjadi seorang yang antikritik maka akan jauh dari perubahan ke arah yang lebih baik. Sebab, orang yang anti kritik adalah menghindarkan diri untuk menjadi lebih baik. Sedangkan orang yang mau menerima kritik maka ia memiliki keinginan yang kuat untuk menjadi lebih baik.
Hanya saja yang perlu ditemakan, ubah cara yang tidak baik, dengan cara yang baik, bukan mengubah yang tidak dengan cara yang salah. Dalam konteks agama, “tabayyun” atau mengklarifikasi terhadap orang yang dikritik secara langsung merupakan keharusan yang mesti dilakukan, bukan melempar isu atau opini ke publik tanpa melakukan tabayyun terlebih dahulu, dan hal itu dinilai sebagai bentuk tanggung jawab moral media massa.
Bupati pemberi beasiswa penghafal Alquran dan beasiswa santri ini lebih lanjut menegaskan, bahwa jika partisipasi media, masyarakat dan pemerintah bisa terus bersinergi, maka hal itu akan menjadi hebat, terutama dalam membangun Pamekasan yang lebih baik, sesuai dengan cita ideal kabupaten itu, Pamekasan Hebat, yakni Pamekasan yang radjhe, bhajre tor parjhugha. (PAMEKASAN HEBAT).
Baca Juga Artikel Lainnya: