PAMEKASAN HEBAT – Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dijelaskan, bahwa bahasa merupakan sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri. Pengertian lainnya, bahasa percakapan (perkataan) yang baik, tingkah laku yang baik, dan sopan santun.
Karena itu, identitas, komitmen, kepribadian, serta dukungan seseorang terhadap sesuatu, sering kali terbaca melalui bahasa yang digunakan. Seseorang yang menggunakan bahasa yang baik dan santun, cenderung merepresentasi bahwa ia merupakan orang yang baik dan santun.
Rasanya jarang, atau bahkan mungkin tidak ada, orang yang pekerjaannya tidak baik (dalam konteks nilai normatif agama dan kemanusiaan), seperti merampok, membegal, atau orang-orang yang hendak melakukan perbuatan jelek, berbahasa dengan bahasa yang santun. Karena bahasa merupakan bagian tak terpisah dari kondisi diri seseorang yang sebenarnya, meskipun, tidak semua yang terungkap baik melalui pilihan diksi, baik pula secara substantif.
“Nahnu nahkumu biz zawaahir, wallahu yatawallas saraair/ Kami hanya menghukum apa yang tampak dan hanya Allah SWT yang menghukum apa yang tersembunyi (niat)” seperti yang pernah disampaikan sahabat Nabi Muhammad SAW, Umar Bin Khattab setidaknya bisa menjadi referensi bagaimana menilai seseorang atau objek dalam menggali data sebelum akhirnya menjadi kesimpulan.
Bahasa verban dalam bentuk susukan kata yang disampaikan secara lisan maupun tulisan merupakan sarana yang bisa dinilai secara lahir. Kata yang digunakan berkonotasi positif, maka berpotensi pula dinilai baik oleh orang yang menerima pesan dalam komunikasi.
Dalam konteks komunikasi verbal, pilihan kata (diksi) yang digunakan merepresentasikan kecenderungan tentang cara pandang, atau bahkan sikap dari kata atau kalimat yang digunakan. Memilih kata ‘mati’ atau ‘tewas’ misalnya, tentu memiliki pengertian atau makna secara psikologis yang berbeda dibandingkan menggunakan kata ‘wafat’, ‘meninggal dunia’ dan atau ‘berpulang ke rahmatullah’ meskipun kata-kata tersebut memiliki kemiripan atau kesamaan arti.
Rupanya, dasar ini pula yang menjadi pertimbangan Bupati Pamekasan Baddrut Tamam dalam menetapkan diksi iklan tentang larangan peredaran rokok ilegal.
Bahasa iklan yang tertulis di berbagai banner, spanduk dan baliho yang digunakan oleh Bea Cukai dalam kampanye larangan peredaran rokok ilegal adalah “Gempur Rokok Ilegal”. Akan tetapi, Bupati Pamekasan menolak menggunakan istilah “Gempur” tersebut dan meminta untuk diganti dengan kata “Stop”, yakni “Stop Rokok Ilegal”.
“Dan diksi ‘Stop Rokok Ilegal’ ini hanya di Pamekasan, atas permintaan Bupati Pamekasan. Yang lain, di daerah lain, tetap menggunakan ‘Gempur Rokok Ilegal,” kata Kepala Seksi Kepatuhan Internal dan Penyuluhan Kantor Bea Cukai Madura, Zainul Arifin dalam acara sosialisasi tentang larangan peredaran rokok ilegal bersama awak media Pamekasan.
Meski redaksi susunan kalimatnya berbeda dengan daerah lain terkait iklan larangan peredaran rokok ilegal tersebut, akan tetapi Bea Cukai Madura bisa menerima, bahkan menghargai keinginan Bupati Pamekasan Baddrut Tamam mengubah kata “Gempur” dan menggantinya menjadi kata “Stop”.
Bagi Baddrut Tamam, pilihan kata pada iklan tentang larangan peredaran rokok ilegal ini, tentu bukan tanpa alasan.
Sejak awal menjabat Bupati Pamekasan yang juga mantan anggota DPRD Jatim ini selalu menyampaikan keinginannya di berbagai kesempatan, bahwa keberadaan pabrik rokok di Pamekasan merupakan aset dan potensi bagi warga Pamekasan dalam memajukan perekonomian di Kabupaten Pamekasan.
Keberadaan pabrik rokok sangat membantu perekonomian masyarakat, disamping membantu meningkatkan serapan hasil produksi tembakau Pamekasan pada setiap musim panen.
Memang, tidak sedikit diantara para pengusaha rokok yang ada di Pamekasan itu yang tidak berizin, akan tetapi potensi baik dan asas manfaatnya yang memberdayaan, dalam membantu perekonomian masyarakat, mengurangi pengangguran, dan meningkatkan serapan tenaga kerja jangan sampai diabaikan.
Pemerintah harus hadir sebagai pengayom, pembina, dan pelindung masyarakat dan para pengusaha rokok lokal, melalui cara yang benar pula. Menggunakan kata “Gempur” seperti semakna dengan memberangus, memberantas, dan meniadakan usaha mereka yang telah banyak memberikan nilai manfaat dan pemberdayaan secara ekonomi kepada masyarakat Pamekasan. Padahal gagasan yang dirancang adalah, usaha tetap jalan, dan pendekatan untuk memberikan penyadaran agar mereka bisa berusaha secara legal juga harus dilakukan oleh pemerintah.
Menggugah kesadaran bagi pelaku usaha rokok lokal ini, merupakan hal pokok dan utara yang perlu dilakukan pemerintah, sehingga semua pihak merasa saling diuntungkan.
Dengan demikian, menggunakan diksi “Gempur Rokol Ilegal” adalah sama dengan menciderai komitmennya sendiri yang ingin memperjuangkan keberlangsung usaha rokok lokal Pamekasan secara legal.
Dalam konteks penggunakan kata ‘Stop’ Badrut seolah menyampaikan kepada publik, mari kita hentikan berusaha secara ilegal, dan kita lanjutkan dengan cara berusaha secara ilegal, karena Pemerintah Kabupaten Pamekasan telah memfasilitasi terbentuk Kawasan Industri Hasil Tembakau (KIHT) yang salah satunya memfasilitasi usaha rokol lokal yang masih ilegal menjadi legal. (A1/714/AB/ PAMEKASAN HEBAT)