PAMEKASAN HEBAT – Perkembangan perusahaan rokok lokal di Pamekasan semenjak banyak tembakau hasil pertanian warga Pamekasan yang tidak terserap oleh pabrikan menjadi dilema bagi pemerintah daerah. Di satu sisi keberadaan rokok lokal itu bisa menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang tidak sedikit, dan itu artinya ikut membantu program pemerintah dalam mengurangi pengangguran. Namun, di sisi lain, institusi pemerintah di berbagai tingkatan, baik pusat, provinsi, maupun di tingkat kabupaten juga harus taat pada aturan dalam hal ini tentang pemberantasan rokok ilegal, atau rokok yang tidak bercukai.
Dalam Undang-Undang Nomor: 39 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai pada Pasal 56 disebutkan bahwa ancaman hukuman penjara bagi produsen rokok ilegal minimal satu tahun dan maksimal lima tahun, serta sanksi denda paling sedikit Rp20 juta.
Bagi institusi pemerintah, ketentuan ini bukan hanya sekadar ketentuan tertulis belaka, akan tetapi harus dilaksanakan semua jenis ketentuan, baik anjuran, informasi, ataupun larangan dan sanksi yang tertuang dalam ketentuan tertulis itu. Membiarkan terjadinya praktik produksi rokok ilegal berarti sama dengan membiarkan terjadinya pelanggaran hukum.
Selain produsen, yang juga diatur dalam ketentuan perundang-undangan itu adalah konsumen, baik pedagang ataupun pembeli rokok ilegal. Ketentuan ini seperti yang tertuang di Pasal 54 UU Nomor: 39 Tahun 2007 itu.
Dalam ketentuan itu dijelaskan, bahwa “Setiap orang yang menawarkan, menyerahkan, menjual, atau menyediakan untuk dijual barang kena cukai yang tidak dikemas untuk penjualan eceran atau tidak dilekati pita cukai atau tidak dibubuhi tanda pelunasan cukai lainnya sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) dipidana dengan pidana Penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit 2 (dua) kali nilai cukai dan paling banyak 10 (sepuluh) kali nilai cukai yang harus dibayar”.
Dengan demikian, ketentuan pada perundang-undangan ini tidak hanya mengatur pada produsen rokok saja, akan tetapi juga pihak lain yang terlibat dalam proses peredaran rokok ilegal tersebut.
Sementara di sisi lain, pemerintah tentu tidak bisa menutup mata, bahwa keberadaan pabrik rokok baru di Pamekasan memberi sumbangan besar dalam ikut mengurangi pengangguran, dan menciptakan lapangan kerja.
Apalagi jumlah pengangguran terbuka di Pamekasan tergolong tidak sedikit. Pada tahun 2018 saja, Pemkab Pamekasan melalui Dinas Tenaga Kerja merilis, bahwa jumlah pengangguran terbuka di kabupaten ini sebanyak 18 ribu orang lebih.
Penduduk miskin di kabupaten ini, pada 2019 tercatat sebesar 13,95 persen. Sedangkan 2020, meningkat menjadi 14,60 persen.
Fakta ini tentu merupakan realitas yang perlu menjadi perhatian Pemkab Pamekasan. Sehingga kehadiran pabrik rokok baru disatu membantu, tapi di sisi lain perlu ditindak, karena melanggar ketentuan perundang-undangan.
Bea Cukai sebagai institusi yang ditunjuk pemerintah dalam menegakkan aturan tentang cukai ini, tentu tidak membiarkan adanya praktik pelanggaran hukum seperti maraknya peredaran rokok ilegal dan produksi rokok ilegal sebagaimana marak terjadi di Madura secara khusus dan Pamekasan pada umumnya.
Program pemberantasan rokok ilegal kala itu mulai digencarkan, sehingga banyak pelaku usaha rokok di Pamekasan yang disanksi, barangnya disita, dan dalam perkembangannya, tidak sedikit perusahaan rokok yang gulung tikar.
Solusi Jalan Tengah
Bagi Bupati Pamekasan Baddrut Tamam, dua jenis masalah rokok tersebut, yakni perusahaan rokok dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya, serta penegakan hukum akibat maraknya praktik produksi rokok ilegal, bisa diselesaikan dengan cara yang lebih arif.
“Sebagai aparat pemerintah memang seharusnya kita menegakkan hukum dengan tegas. Tapi kita tidak bisa menutup mata, bahwa banyak orang yang menggantungkan hidupnya pada jenis usaha ini,” kata Baddrut Tamam pada pertemuan dengan Perwakilan Kantor Bea Cukai Madura di Mandhepa Agung Ronggosukowati dalam sebuah kesempatan.
Usulan yang disampaikan Bupati Baddrut Tamam kala itu melalui jalan tengah, yakni sosialisasi dan pendidikan kepada para pelaku usaha.
Sosialisasi perlu digencarkan, agar para pelaku usaha rokok mengetahui tentang ketentuan ini. Disamping itu, perlu juga dilakukan pembinaan, seperti cara mengurus izin usaha, dan berbagai prasyarat kelengkapan administrasi lainnya.
“Jangan menggunakan pendekatan gempur, gunakan pendekatan yang lebih soft. Dan saya yakin dengan cara seperti itu, hasilnya juga akan lebih bagus, baik pada pemerintah, maupun pada masyarakat,” kata bupati.
Kepada petugas Bea Cukai itu, bupati menyampaikan keinginannya agar perusahaan rokok lokal bisa berkembang dengan baik dan benar. Baik dalam artian memberikan asas manfaat kepada masyarakat sekitarnya, benar, dalam artian mengikuti ketentuan yang berlaku, sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai.
Bupati muda ini juga mengak Bea Cukai untuk sering melakukan pertemuan, dan sosialisasi kepada pengusaha rokok lokal yang masih ilegal tersebut, memberikan pemahaman dan sentuhan dari hati-hati.
“Saya yakin dengan cara ini, semuanya bisa diatasi. Karena pada prinsipnya, semua orang ingin berusaha dengan baik dan cara yang benar, dalam konteks pemerintahan, sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh negara,” katanya. (A1/760/AB/ Bersambung ke-4)