PAMEKASAN HEBAT – Kasus pelanggaran hukum yang terjadi di masyarakat membutuhkan proses penyelesaian dalam waktu yang tidak singkat, bahkan sebagian di antara para pihak yang bertikai, terpaksa harus mendekam di penjara.
Akibatnya, hunian rumah tahanan negara atau lembaga pemasyarakat menjadi penuh, bahkan tidak sedikit yang terpaksa melebihi kapasitas tampung.
Penyelesaian kasus pelanggaran hukum melalui institusi penegak hukum ini, karena negara memang telah menyediakan sarana khusus bagi warga atau orang yang hendak mencari keadilan dan kepastian hukum, meskipun di satu sisi, pola penyelesaikan kasus hukum melalui jalur menimbulkan persoalan baru.
Persoalan baru yang dimaksud adalah banyak para pelaku kriminal atau pelanggaran hukum yang terpaksa mendekam di penjara, baik saat proses hukum masih berlangsung (ditahan) atau setelah putusan hukum oleh Pengadilan Negeri (dipenjara).
Karena itu, Kejaksaan Negeri (Kejari) Pamekasan, berupaya menekan kasus hukum yang terjadi di masyarakat melalui penyelesaian hukum antarwarga yakni mediasi langsung dengan membentuk rumah restorative justice.
Menurut Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari) Pamekasan Mukhlis, penyelesaian hukum melalui rumah restorative justice ini berdasarkan kebijakan dari Kejaksaan Agung Republik Indonesia untuk memberikan wadah kepada masyarakat menyelesaikan masalah perselisihan secara musyawarah mufakat.
“Tujuannya agar kasus hukum bisa selesai secara musyawarah mufakat, berakhir damai antara para pihak yang bertikai, tanpa harus melalui proses hukum di lembaga peradilan,” katanya dalam keterangan persnya seperti dilansir sejumlah media, Jumat (1/7/2022).
Tentang Restorative Justice
Restorative Justice atau Keadilan Restoratif merupakan salah satu metode pendekatan penyelesaian hukum dirancang untuk menjadi resolusi penyelesaian dari konflik yang sedang terjadi dengan cara memperbaiki keadaan ataupun kerugian yang ditimbulkan dari konflik tersebut.
Kevin I. Minor dan J.T. Morrison dalam buku berjudul “A Theoritical Study and Critique of Restorative Justice, in Burt Galaway and Joe Hudson, eds., Restorative Justice : International Perspectives” (1996), menjelaskan bahwa restorative justice adalah suatu tanggapan kepada pelaku kejahatan untuk memulihkan kerugian dan memudahkan perdamaian antara para pihak.
Keadilan restoratif sejatinya merupakan metode yang dirancang untuk menjadi resolusi penyelesaian konflik yang sedang terjadi dengan cara memperbaiki keadaan ataupun kerugian yang ditimbulkan dari konflik tersebut.
Pada laman resmi Mahkamah Agung disebutkan, bahwa prinsip restorative justice adalah salah satu prinsip penegakan hukum dalam penyelesaian perkara yang dapat dijadikan instrumen pemulihan dan sudah dilaksanakan oleh Mahkamah Agung (MA). Prinsip keadilan restoratif atau restorative justice merupakan alternatif penyelesaian perkara tindak pidana, yang dalam mekanisme (tata cara peradilan pidana) fokus pidana diubah menjadi proses dialog dan mediasi.
Dialog dan mediasi dalam keadilan restoratif melibatkan beberapa pihak di antaranya pelaku, korban, keluarga pelaku atau korban, dan pihak-pihak lainnya yang terkait. Secara umum, tujuan penyelesaian hukum tersebut guna menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana.
Selain itu, tujuan lain dari restorative justice adalah untuk mendapatkan putusan hukum yang adil dan seimbang bagi pihak korban maupun pelaku. Prinsip utama dalam keadilan restoratif ini adalah penegakan hukum yang selalu mengedepankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan mengembalikan pola hubungan baik dalam masyarakat.
Asal Mula
Penerapan keadilan restoratif bermula dari pelaksanaan sebuah program penyelesaian di luar peradilan yang dilakukan masyarakat, yang disebut dengan victim offender mediation (VOM), di Kanada pada 1970-an.
Restorative Justice Program itu mulanya dilaksanakan sebagai tindakan alternatif dalam menghukum pelaku kriminal anak, dimana sebelum dilaksanakan hukuman pelaku dan korban diizinkan bertemu untuk menyusun usulan hukum yang menjadi salah satu pertimbangan dari sekian banyak pertimbangan hakim.
Dengan demikian restorative justice juga berarti sebuah pendekatan yang bertujuan untuk membangun sistem peradilan pidana yang peka tentang masalah korban. (Mardjono Reksodiputro:Jurnal Perempuan 2019).
Restorative justice penting dikaitkan dengan korban kejahatan, karena pendekatan ini merupakan bentuk kritik terhadap sistem peradilan pidana di Indonesia saat ini yang cenderung mengarah pada tujuan retributif, yaitu menekankan keadilan pada pembalasan, dan mengabaikan peran korban untuk turut serta menentukan proses perkaranya.
Di Indonesia, penerapan Restorative Justice di Indonesia Salah satu landasan penerapan restorative justice oleh Mahkamah Agung dibuktikan dengan pemberlakuan kebijakan melalui Peraturan Mahkamah Agung dan Surat Edaran Mahkamah Agung.
Panduan restorative justice dalam lingkungan peradilan umum diatur dalam Surat Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum yang terbit pada 22 Desember 2020. Tujuan panduan restorative justice oleh MA adalah mendorong peningkatan penerapan konsep itu dan terpenuhinya asas-asas peradilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan dengan keadilan yang seimbang.
Hanya saja, konsep restorative justice bisa diterapkan dalam kasus-kasus tindak pidana ringan dengan hukuman pidana penjara paling lama tiga bulan dan denda Rp2.500.000 (Pasal 364, 373, 379, 384, 407, dan 482).
Selain itu, prinsip restorative justice juga digunakan terhadap anak atau perempuan yang berhadapan dengan hukum, anak yang menjadi korban atau saksi tindak pidana, hingga pecandu atau penyalahguna narkotika, sebagaimana tertuang Peraturan Jaksa Agung (PERJA) Nomor 15 Tahun 2020 tentang Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Berdasarkan pada Pasal 2 Perja Nomor 15 tahun 2020, pertimbangan untuk melaksanakan konsep keadilan restorative dilaksanakan berdasarkan asas keadilan, kepentingan umum, proporsionalitas, pidana sebagai jalan terakhir, dan asas cepat, sederhana, dan biaya ringan.
Penuntut Umum berwenang menutup perkara demi kepentingan hukum salah satunya karena alasan telah ada penyelesaian perkara di luar pengadilan/afdoening buiten process, hal ini diatur dalam Pasal 3 ayat (2) huruf e Perja Nomor 15 Tahun 2020.
Di dalam Peraturan Jaksa Agung tersebut pada Pasal 3 ayat (3) terdapat ketentuan apabila ingin menyelesaikan perkara di luar pengadilan untuk tindak pidana tertentu dengan maksimum denda dibayar sukarela atau telah ada pemulihan keadaan semula melalui restorative justice.
Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo juga telah menerbitkan surat edaran pada 19 Februari 2021 yang salah satu isinya meminta penyidik memiliki prinsip bahwa hukum pidana merupakan upaya terakhir dalam penegakan hukum dan mengedepankan restorative justice dalam penyelesaian perkara. Yang menjadi fokus utama Sigit dalam penerapan prinsip restorative justice adalah dalam penanganan perkara UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) Nomor 19 Tahun 2016.
Sementara terkait tindak pidana yang mengandung unsur SARA, kebencian terhadap golongan atau agama dan diskriminasi ras dan etnis, serta penyebaran berita bohong yang menimbulkan keonaran tidak dapat diselesaikan dengan restorative justice. Pelaksanaan prinsip keadilan restoratif juga sudah dilakukan sejak terbitnya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA).
Rumah RJ di Pamekasan
Dengan demikian, maka keberadaan lokasi khusus sebagai tempat mediasi yang disebut Rumah Restorative Justice (RJ) menjadi penting.
Keterlibatan para pihak, seperti dari unsur Kejari, polisi, pemerintah di berbagai tingkatan, seperti pemkab, camat dan para aparat desa, dan tokoh masyarakat menjadi penting, karena intinya pada penyelesaian kasus dengan mengedepankan musyawarah.
“Karena itu, di Pamekasan, pembentukan Rumah RJ (Restorative Justice) di 13 kecamatan di Pamekasan ini juga melibatkan para kepala desa yang tergabung dalam Persatuan Kepala Desa atau Perkasa,” katanya menjelaskan.
Warga yang bermasalah secara hukum hendaknya mengadukan masalah yang dihadapi tersebut ke camat dengan didampingi aparatur pemerintah desa.
“Di kecamatan, mereka akan dimediasi, diharapkan selesai di sana persoalan hukumnya dengan musyawarah, damai dan penuh rasa kekeluargaan,” katanya.
Melalui pendekatan musyawarah mufakat dan humanis ini, diharapkan akan mengurangi hunian lembaga pemasyarakatan, disamping bisa menekan konflik susulan sebagaimana sering terjadi selama ini.
Secara terpisah Ketua Perkasa Pamekasan Farid Afandi mengaku sangat mendukung program baik Kejari Pamekasan itu.
“Semoga dengan adanya rumah RJ ini bisa mengurangi angka-angka persoalan antarwarga naik ke ranah hukum, katanya.
Sehingga secara otomatis pula akan mengurai persoalan dan mengurangi jumlah masyarakat yang akan masuk penjara.
Sementara itu, berdasarkan data Kejari Pamekasan, jumlah kasus pelanggaran hukum yang ditangani institusi tersebut kini mencapai 136 kasus terhitung sejak sejak Januari hingga Juni 2022.
Dari jumlah itu lima di antaranya masih berstatus banding, dan satu kasus lagi dalam proses kasasi. (KIM PAMEKASAN HEBAT)