Oleh Imam S Arizal
PAMEKASAN HEBAT – Banyak pihak risau, terutama para mantan aktivis mahasiswa melihat perilaku demonstran. Risau bukan karena matinya gerakan, tetapi nilai-nilai yang diperjuangkan mulai kabur. Secara kuantitas memang tampak ramai, tetapi dari sisi kualitas, demonstrasi tampak sepi.
Konon, pada saat rezim Orde Baru berkuasa, demonstrasi terasa mahal harganya. Hanya orang-orang punya nyali tinggi yang berani bersuara lantang di jalanan. Sebab setelah itu, mereka harus siap-siap berhadapan dengan aparat penegak hukum. Para aktivis seperti itu biasanya lahir dari ruang-ruang tersembunyi atau kelompok-kelompok yang “anti kemapanan”.
Tapi kini, pascareformasi, demonstrasi terkesan hanya sebagai rutinitas. Di Pamekasan, demonstrasi seperti “kalimat tanpa spasi“. Terus bersambung hingga sulit dicari apa urgensi dari sekian demonstrasi yang digelar tersebut.
Dalam catatan Polres Pamekasan, selama 2014 ada sekitar 85 demonstrasi. Itu artinya setiap empat hari sekali ada demonstrasi di Kota Gerbang Salam. Maraknya demonstrasi memang membuat banyak orang gundah. Apalagi ada bisik-bisik yang menyebut tidak semua aksi yang dilakukan oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) murni demi kepentingan rakyat. Ada pihak-pihak yang menunggangi, ada transaksi, dan ada gula yang diperebutkan. Demonstrasi dikendalikan oleh pihak yang oleh Gramsci disebut sebagai invisible hand.
Sebagian menilai, maraknya demo di Pamekasan karena para demonstran itu menaruh harapan hidup pada pemkab. Mereka bisa mendapat pundi-pundi keuntungan dari isu yang disuarakan. Karena konon katanya, dari bisik-bisik di warung kopi, tidak jarang penggerak demo melakukan lobi-lobi dengan kepala dinas untuk mendapat kucuran dana. Jika negosiasi buntu, demonstrasi akan digelar di jalanan.
Ironisnya, masih ada kepala dinas yang takut pada gertak sambal LSM yang sering menggelar demo. Sebagian mengaku sengaja mengeluarkan uang tutup mulut agar proyek yang dijalankan di instansinya berjalan lancar. Sebagian lain mengaku, pihaknya enggan berurusan dengan polisi dan kejaksaan jika harus diundang sebagai saksi dan lain hal.
Pendapat di atas mungkin bersifat kasuistik. Ada lagi asumsi yang mendasari banyaknya aksi demonstrasi, yaitu bergesernya budaya mahasiswa, dari idealis menjadi pragmatis. Apa saja yang menguntungkan akan dilakukan, termasuk dengan cara jual beli gerakan. Inilah yang sering dilontarkan pada pengkaji budaya mahasiswa.
Karena aktivis mahasiswa sudah berbicara untung rugi, advokasi sosial menjadi sepi. Mahasiswa tidak lagi mendatangi masyarakat miskin, putus sekolah, atau kelompok-kelompok marginal. Sebab, kerja sosial tersebut tidak menguntungkan.
Berbeda dengan gerakan jalanan. Semakin sering berdemonstrasi dan audiensi, mereka akan semakin dekat dengan kekuasaan. Ketika itu terjadi, pundi-pundi keuntungan bisa dicapai. Termasuk memegang proyek pemerintah daerah agar gerakan mereka bisa sedikit slow atau terukur.
Mungkin ini hanya pendapat orang per orang. Akan tetapi wacana ini sudah menjadi rahasia umum, khususnya di kalangan para pemburu fakta. Banyak pihak yang bercerita, banyak pihak yang merasa dirugikan dengan banyaknya unjuk rasa.
Namun demikian, banyaknya unjuk rasa tidak serta-merta disudutkan pada kesalahan LSM dan aktivis mahasiswa. Sebab, mereka bergerak bukan tanpa pembacaan. Ada dasar yang melatarbelakangi aksi itu dilakukan. Setidaknya, memang banyak celah yang bisa dimasuki oleh aktivis mahasiswa di Kota ini.
Proyek pembangunan yang berjalan lamban, proses lelang yang tidak transparan, serta tidak meratanya pembangunan membuat masyarakat juga gerah. Karenanya, para pejabat di Pamekasan memang perlu melakukan refleksi, ada apa di balik maraknya demonstrasi? Sebab, seperti kata pepatah, semut di seberang lautan kelihatan, gajah di pelupuk mata tak kelihatan.
Penulis masih yakin, masih banyak aktivis mahasiswa yang idealis. Tidak semua demonstrasi berakhir dengan transaksi. Demikian juga tidak semua kepala dinas mau meladeni permintaan pihak-pihak yang selalu mengancam akan melakukan demonstrasi. Jika kepala dinas tersebut bersih, mereka pasti bisa menolak. (PAMEKASAN HEBAT)
*Penulis adalah wartawan Radar Madura, asal Pamekasan yang kini bertugas di Kabupaten Sumenep.